21 Oktober 2008

Semburat wajah sendu yang menghampiri jangkauan tatapku mengusik tanya. Sepertinya hatimu sedang merawi suatu rasa yang hendak kau lukiskan di indahnya malam bertabur bintang saat ini. Namun kau masih saja tak berkata. Membuatku bertanya-tanya, akankah itu lukisan abstrak yang kusuka atau lukisan kontemporer yang aku pun tak mengerti jenisnya?

Dan kau pun masih terdiam. Menelan puluhan menit yang berharga tanpa mengucap suatu apa. Dan aku pun masih terdiam sama. Disisimu aku tetap menepi. Menemani hati dan juga si pemilik hati. Menunggu suara yang keluar dari lengkungan bibirmu yang dipertemuan kali ini lengkungannya masih saja menurun sejak tadi.

Sebegitu sulitnya kah mengajakku bercengkrama dengan hatimu? Hingga kau habiskan hampir setengah waktu kebersamaan kita dengan mematung indah dan menatapku dengan sorot mata itu. Tatap yang sangat kukenal. Tatap yang selalu aku rindukan selama setahun ini kita terpisahkan jarak.

Kembali tanya merajuk padaku. Apa sebenarnya yang terjadi selama aku tak berada disisimu? Ada orang lain yang menyusup diantara kebersamaan kita kah? Atau kau mengingkari janji setia selamanya bersama? Atau bahkan, kau sudah tak lagi menginginkanku? Kalau begitu, mengapa masih saja kau beri aku tatapan itu? Ah. Semakin kau membatu, semakin aku beriak menghantarkan tanya kedalam hatimu.

Mungkin saja tak terdengar oleh hatimu. Mungkin karena jeritanku terlampau lembut hingga tersamar oleh rintihan hatimu yang memilu atau sedang merangkai sesuatu. Sepertinya tak ada beda. Sebab hingga tinggal tersisa seperempat waktu kau masih saja terpaku. Lambat laun tatapmu pun mengalirkan jengah yang tak lagi dapat tak kuhiraukan.

Perlahan aku menelusupi rongga jemarimu dengan dinginnya jemariku yang diangguri sejak awal kita bertemu, olehmu. Terasa bahwa kau masih menginginkanku. Terlihat dari caramu membalas rengkuhan lembutku dengan eratnya peluk yang akhirnya sampai ke hati. Namun hembusan nafasmu yang tak teratur mengisyaratkan gundah yang memenuhi selubung antara kita.

Aku menyerah. Kuijinkan hati memasuki arena yang sejak tadi telah kau rangkai. Mengalun merdu kita menghirup sisa waktu. Memuai rindu yang membeku seiring jarak yang bertaut diantara kita sejak dulu. Melepas resah yang bergelimang di padunya kasih. Hingga leburnya hatiku hatimu penuhi sabuk pelangi dengan cinta yang memburu.

Nyatanya memang tak ada apa. Kau hanya sedang merindu. Tanpa ingin mengumbar kata. Yang ingin berbincang dengan bahasa hati saja. Yang tak ingin melewati detik tanpa menatap jauh kedalam hatiku dan berucap aku mencintaimu melalui binar mata milikmu. Lalu, usai sudah kegalauan itu.

--- *** ---

Jarak kembali memisah raga. Namun rasa yang kau beri saat terakhir kita bersua lekat tersisa. Rasanya tak kuasa menanti bulan-bulan yang menghadang dimuka untuk menimba peluk dari sumur cintamu.

--- *** ---

Tiga hari kemudian. Disuatu pagi yang berhiaskan hangatnya mentari, aku meraih telepon selulerku. Ingin kukirimkan sebuah pesan yang sedari malam sudah bergejolak gembira dipikiranku.

“Ribuan bintang malam yang menghampiri tak akan cukup untuk terangi temaramnya hati yang jauh darimu. Riuhnya kemarau yang meminta hujan sama dengan inginku bermandikan gelembung-gelembung cintamu. Rangkaian pelangi yang terajut mesra dibawah apiknya air terjun tak akan pula mampu penuhi pekatku akan rindumu.
Sayangku, aku cinta. Cintaku, aku rindu. Rinduku, jaga dirimu.”

Lima menit kemudian. Tanda pesan singkat diterima pun berbunyi. Berbinar aku menekan tombol untuk membaca balasan cintaku.

“Riedo telah berpulang. Kemarin malam.....”

Terhenyak. Terpaku. Tak percaya. Hingga tak mampu kubaca sisa pesan itu.

Akhirnya aku mengerti.


Hati tahu lebih dari yang kau lihat.
Hati mengerti lebih dari yang kau rasakan.
Hati menjangkau lebih dari yang kau bayangkan.

Tidak ada komentar: