04 Oktober 2008

yang dirasa yang dikata

"Hey. Mengapa terdiam? Rasanya aku sudah mengatakan yang sebenarnya.
Hmm. Atau mungkin yang seharusnya ya?"
Baru saja aku tersadar.

Terkadang terjadi kerancuan diantara sesuatu yang dikatakan karena memang hal tersebut yang benar-benar dirasakan dengan sesuatu yang dikatakan karena hal tersebut memang seharuskan dilontarkan atau paling tidak diharapkan oleh orang lain.

Contoh sederhana. Jika pasangan kita menanyakan hal seperti
"Sayang, aku cantik/ganteng ga?".
Atau "Sayang, aku gendut ya?".
Atau "Sayang, aku jelek ya?"
Lantas apa yang menjadi jawaban kamu?
"Ah.. ga kok. Kamu yang paling cantik buat aku sayang."
"Kok kamu tanya gitu sih, kan aku udah pernah bilang, kalo kamu tuh cowo aku yang paling ganteng. Masa kamu ga percaya sih?"
"Oohh.. jelas cantik dong. Sayangnya akuu.."
"Eits.. pacar aku mana ada yang jelek, sayang."

atau

"Hmm. Belakangan kayanya berat badan kamu agak nambah ya?"
"Yaa.. gimana ya. Ga seganteng pacar aku yang sebelumnya sih."
"Cantik sih. Tapi perut kamu ndut tuh. Jerawatnya juga makin banyak. Coba kalo perut kamu rata dan wajah kamu bersih."
"Kamu tuh jelek ya ternyata."
Jadi, sudahkah menemukan jawabannya??
Ada saatnya kita berada di posisi seperti itu, dimana kita ingin mengatakan apa yang sebenarnya dirasakan tetapi akan mengakibatkan dampak yang cukup berpengaruh. Tetapi jika kita mengatakan sesuatu yang ingin didengar oleh lawan bicara kita, ada kalanya hati berontak.
Kalau demikian, dilema pun muncul.
Lalu langkah apa yang akan kamu pilih?
Tetap membohongi hati atau memberikan kejujuran yang memiliki kemungkinan tidak enak didengar oleh lawan bicara?

Saran saya:
Dengarkan apa yang dikata hati.

Tidak ada komentar: