Di suatu siang, saya menerima pesan singkat dari salah satu teman dekat saya yang berbunyi,
"Putu, nanti malam aku telpon kamu ya.."
Saya sudah mendengar kabar si teman ini berpisah dengan kekasihnya yang sudah bertahun-tahun si teman kencani. Terus terang saya tidak ingat tepatnya berapa lama. Tapi yang pasti, cukup lama untuk membuat mereka mengenal satu sama lain. Saya dan si teman ini sempat mengobrol melalui sarana YM dengan intensitas yang tak seberapa. Namun saya rasa kali ini si teman sedang butuh teman bicara sampai-sampai mengajak saya berbincang-bincang melalui ponsel. Cukup serius pastinya. Saya mengatakan demikian karena masalah yang dibahas adalah cinta. Bagi saya ini hal yang serius. Apalagi jika menyangkut hati. Dan saya pun tidak main-main untuk mendengarkan celotehannya. Keseriusan pun bertambah setelah mendengar suaranya yang serak dan bindeng seperti sedang pilek namun tidak. Tentu mengerti dengan maksud saya kan?
Iya. Betul sekali. Si teman ini menangis. Suatu hal yang seingat saya tidak pernah saya lihat dan dengar dari dirinya. Jangankan mengeluarkan air mata, untuk bersedih saja rasanya tak pernah saya jumpai selama 8 tahun berteman dengan dirinya.
Pria tetaplah manusia. Yang perlu menangis. Yang butuh pelampiasan.
Begitu banyak cerita yang mengalir walau tanpa saya beri pertanyaan terlebih dahulu. Saya membiarkan si teman mengeluarkan segala yang ingin ia keluarkan. Saya hanya mendengar. Tanpa berkomentar. Tanpa menilai bahkan menyalahkan. Tanpa mengiba dirinya. Tanpa mengasihani keadaannya. Tanpa banyak mengeluhkan keputusannya. Saya hanya menerima apa yang memang harus saya terima. Tak lain adalah kejujurannya.
Ada beberapa hal yang memang saya tanyakan kepada si teman. Bukan bermaksud memojokkan dia, hanya ingin membuatnya menyadari sesuatu yang mungkin menjadi penyebab dari keputusan yang sudah dia buat.
Jadi begini. Si teman ini adalah pihak yang menyudahi hubungannya dengan si kekasih. Dengan alasan, cinta itu sudah tidak lagi sama. Kali pertama saya mendengar alasannya, saya langsung teringat kepada cerita cinta
Dewi Lestari dan Marcel Siahaan yang juga mengemukakan bahwa cinta mereka sudah tidak lagi sama. (Silahkan baca kelanjutannya pada link yang tersedia.)
Namun, setelah saya tilik lebih lanjut, ceritanya agak berbeda.
Berikut ini saya hanya menggambarkan percakapan antara saya dengan si teman secara garis besar. Jadi, apabila si kekasih membaca ini dan tidak begitu setuju dengan apa yang saya tulis, mohon maaf. Tidak bermaksud apa-apa dengan tulisan ini. Hanya ingin bercerita saja.
Saat si teman mengatakan bahwasannya cinta yang terasa di hatinya sudah tidak lagi sama, saya bertanya, "Apa sebenarnya yang menyebabkan itu semua?" Karena menurut saya, pasti ada hal yang menjadi
trigger hingga si teman menghasilkan rasa yang demikian terhadap cintanya. Awalnya si teman bercerita kesana kemari. Namun saya menekankan lagi pertanyaan saya. Sebenarnya saya sama sekali tidak suka menyudutkan seseorang dengan pertanyaan saya. Tetapi entah mengapa, kali ini saya merasa kalau inti persoalannya terletak pada
trigger yang terpendam itu.
Menginjak dua jam lebih durasi kami bertelepon. Selama itu pula saya hanya mendengarkan omongan si teman. Dari mulai nada tertawa, putus asa, kesedihan hingga diam yang berbalut sedikit isak. Lama-lama saya mulai melihat dan bisa membaca apa yang sebenarnya terjadi diantara si teman dan kekasihnya. Jujur saja, meski berteman dengan keduanya, tapi saya tidak pernah mau turut camput dalam masalah yang mereka hadapi sejak dulu. Kebetulan saya tipe orang yang akan memberikan komentar jika diminta, jika tidak, lebih suka diam dan memperhatikan.
Satu hal yang dapat saya tarik sebagai kesimpulan adalah kurangnya komunikasi. Terkesan klise memang, tapi itulah kenyataannya. Sesuatu yang saya anggap sangat penting jika saya menjalin hubungan serius dengan seseorang. Dan
trigger dari kejadian ini adalah salah paham yang bertumpuk semakin besar tanpa si teman saya ini sadari, yang menutupi cintanya dengan kabut ketidakterimaan akan sikap si kekasih. Meskipun si teman sudah berusaha menyirami cintanya dengan segala optimisme dan harapan yang ia punya.
Hasil analisa saya adalah begini.
Keduanya sama-sama keras kepala.
Si teman dan kekasihnya ini sama-sama memiliki prinsip dalam cara berpikir.
Si teman mungkin bukan orang yang bisa bersikap dan bertingkahlaku layaknya pria yang sudah matang baik secara emosi maupun usia. Si teman penuh dengan energi 'kekanak-kanakkan' yang pasti dipunyai oleh setiap individu. Hanya saja, pada kasus si teman ini, kuantitas energi itu melebihi batasan orang kebanyakan pada usianya.
Prinsip si teman sederhana. Kalau cinta, ya dia akan berusaha semaksimal mungkin untuk ada, membantu dan mendampingi kekasihnya. Mencoba mengerti. Memahami dengan segala pengertian dan pengetahuan yang dia punya mengenai wanita. Tanpa perlu basa basi. Tanpa perlu dibuat rumit. Tanpa perlu alasan ini dan itu. Cinta sama dengan 'ada'. Tanpa mengenal membedakan beragam jenis keberadaan. Cinta sama dengan 'ada' untuk kekasihnya.
Bagi saya, si teman ini adalah pribadi yang menarik.
Lain halnya dengan si teman, si kekasih ini (berdasarkan cerita si teman) tipe individu yang selalu butuh alasan. Sama seperti saya yang selalu butuh alasan-alasan yang masuk akal untuk hampir segala sesuatu. Saya pun cukup mengerti untuk bagian ini dari si kekasih.
Si kekasih juga sepertinya (menurut pendapat saya) menginginkan si teman ini menjadi sosok yang dewasa, yang penuh kematangan dalam segala sikap dan pemikiran. Mungkin si kekasih lupa, kalau yang membuat dirinya cinta kepada si teman justru sikapnya yang kekanak-kanakkan. Bisa saja begitu kan?
Sama seperti kebanyakan perempuan pula, si kekasih suka mengatakan hal-hal yang sebenarnya tidak dia sungguhi. Seperti misalnya menyuruh si kekasih pergi, padahal justru ia menginginkan si teman untuk tetap tinggal. (jujur saya, dalam hal ini saya mengambil asumsi)
Atau mengatakan bahwa keberadaan si teman justru merusak dan tidak membantu apa-apa. Padahal sesungguhnya, si kekasih menginginkan si teman untuk berbuat lebih dari yang sudah dilakukan. Si kekasih terlalu dikuasai emosi untuk bisa menyampaikan kepada si teman dengan baik. Dengan bahasa yang dimengerti si teman.
Perkataan-perkataan demikian yang sering terlontar dari mulut si kekasih yang akhirnya membuat si teman merasa kehadirannya di hidup si kekasih tidak seberapa. Dimana hal ini adalah penting bagi dirinya. Ingat, cinta sama dengan 'ada'. Si teman berpikir, toh dengan dia ada, justru si kekasih menganggap keberadaannya mengganggu dan tidak memberi arti apa-apa.
Si teman beranggapan kalau dirinya tak berarti banyak bagi si kekasih. Walaupun mungkin sebenarnya justru sebaliknya buat si kekasih.
Tetapi si kekasih mungkin tidak menyadari, dengan sikap yang demikian justru malah akan menambah si teman merasa tidak penting. Lambat laun pun dapat memuncak. Hanya tinggal menunggu waktu. Cinta si teman pun memudar seiring ketidakmampuan ia menyiraminya.
Rumit bukan?
Maksud dari kurang komunikasi menurut versi saya tadi dalam persoalan ini adalah begini.
Begitu banyak hal yang terasa dari pihak si teman ini yang kurang dimengeri oleh si kekasih. Begitupula sebaliknya. Tidak ketemu-ketemu. Selalu berselisih jalan.
Rasa yang benar-benar menjalar di hati tidak tersampaikan dengan baik. Kesalahpahaman kian merajalela. Lalu membuncah. Kemudian menyembur tak tertahankan lagi.
Dan bermuara pada keputusan si teman untuk berpisah dengan kekasihnya. Yang jauh di dalam hatinya, masih si teman sangat cintai. Kalau tidak, untuk apa dia menangisi perpisahannya?
Percakapan saya dengan si teman pun berakhir lewat tengah malam. Setelah keduanya sudah cukup ngantuk untuk meneruskan obrolan. Selepas menutup mematikan ponsel, saya termenung.
Untuk si teman:
Aku cukup memahami kondisi hatimu. Tapi satu hal yang perlu kamu ketahui, pikirkan lagi keputusan itu dengan lebih baik. Pastikan bahwa tidak ada setitik ego pun didalamnya. Sebab, jika waktunya telah lewat. Jika si kekasih telah benar-benar menerima kenyataan bahwa kamu telah pergi meninggalkannya dan tidak akan kembali, namun di lain sisi kamu baru mulai menyadari kekeliruanmu akan kebesaran egoisme yang hadir begitu hebat tanpa kamu sadari, si kekasih sudah berbeda. Disaat kamu sadar kalau kamu masih mencintai dirinya, bahkan jauh dari yang sebelumnya. Si kekasih sudah melangkah meninggalkanmu. Dan ketika kamu mengutarakan niat untuk kembali kepadanya. Si kekasih sudah menutup hatinya.
Apakah kamu siap dengan kemungkinan yang seperti itu??
Kamu telah memutuskan sesuatu yang pasti ada konsekuensinya. Maka, jangan berpaling. Tetap menatap ke depan dan hadapi. Sebagai seorang pria kamu harus bertanggungjawab atas apa yang sudah menjadi keputusanmu.
Untuk si kekasih:
Aku mengerti. Terkadang kita sebagai wanita terbutakan oleh hal-hal yang kita anggap penting dimiliki oleh pasangan. Entah itu selera pakaian yang lebih baik. Entah perhatian yang mengalir non stop. Entah kepatuhan pada apa yang menjadi ingin kita. Entah pelayanan yang harus memuaskan dari pasangan. Kita terkadang begitu memuja hal-hal remeh temeh yang tak lebih dari 10% dari keindahan dirinya yang 90% sisanya sudah ada di genggaman kita.
Terkadang kita lupa. Bahwa mungkin sudah 90% kebaikan, kenyamanan dan ketulusan yang pasangan berikan ke kita, tetapi kita terlalu rakus untuk meminta semuanya, meminta lagi sisanya yaitu 10% tadi. Tolong sadari itu.
Pria punya caranya sendiri. Begitu pula dengan kita perempuan.
Dan sebuah hubungan tidak menentukan siapa yang akan jadi pemenang. Jadi bukan masalah menggunakan caramu atau caranya. Tetapi cara kalian berdua.
Mungkin si teman sedang dirundung emosi yang begitu sangat. Serajin apapun engkau bertanya dalam waktu dekat ini, niscaya ia tak bergeming.
Yang sebaiknya kamu lakukan adalah berdiri tegar dan hadapi ini semua. Terima kenyataan yang ada di depan mata. Jangan melarikan diri. Jangan lantas melemah lalu hancur. Tunjukkan kepadanya bahwa kamu adalah perempuan yang tak pantas dia tinggalkan. Bangkitkan semangat "seolah-olah" kamu ingin membuatnya menyesal. Jadikan dirimu lebih baik lagi dari sebelumnya. Jadikan peristiwa penting ini berarti untuk hidupmu.
Jangan terpuruk. Tapi bangkitlah lalu melangkah hadapi semua. Perjalanan kita masih panjang bukan?
Sebab kita semua tak akan pernah tahu, kawan. Apa yang akan terjadi di depan sana.
Mungkin Tuhan sedang menguji keteguhan kalian. Mungkin Tuhan sedang ingin melihat seberapa kuat umatnya mampu bangkit dari apa yang terasa sebagai suatu keterpurukan. Mungkin Tuhan sedang mempersiapkan sesuatu yang lebih indah lagi, namun kalian harus mengalami hal ini untuk mencapai kesana.
Maka, lekaslah bersiap.
Tunjukkan bahwa memang kalian pantas untuk naik kelas ke tingkatan kehidupan berikutnya.
Tunjukkan bahwa kita telah belajar dari kehidupan.
I love both of you..
Be good ya..